Gunung Gede Pangrango

Gunung Gede Pangrango dilihat dari Cibodas

Gunung Pangrango adalah gunung yang ada di taman nasional gunung Gede Pangrango yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Menurut Wikipedia, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terutama didirikan untuk melindungi dan mengkonservasi ekosistem dan flora pegunungan yang cantik di Jawa Barat. Dengan luas 21.975 hektare, wilayahnya terutama mencakup dua puncak gunung Gede dan Pangrango beserta tutupan hutan pegunungan di sekelilingnya. Taman Nasional gunung Gede Pangrango dapat dicapai dengan mudah menggunakan kendaraan umum, karena tidak jauh dari simpang jalan raya puncak. Dari jalan raya puncak (Cibodas), untuk mencapai pintu masuk Taman Nasional tersebut, bisa naik angkot dengan membayar ongkos kira-kira Rp. 3000 (waktu sekarang). :)

Pendakian Gunung Pangrango adalah pendakian pertama saya ketika saya duduk di kelas satu SMA. Pendakian ini diadakan ketika saya ikut pencinta alam di SMA saya yaitu Exispal SMA 24, ketika liburan nasional tanggal 17 Agustus. Ini adalah saat-saat pengemblengan dan pemantapan uji fisik dan mental untuk menjadi anggota pencinta alam sebelum pelantikan yang diadakan di gunung Salak.

Seminggu sebelum pendakian diadakan, latihan seperti yang biasanya diadakan setiap hari minggunya, diisi dengan latihan fisik guna persiapan pendakian Gunung Pangrango yang cukup sulit medannya. Para calon anggota yang baru (anak-anak kelas I) diharuskan melakukan scott-jump, push-up, lari, dan berjalan sambil jongkok. Cukup melelahkan latihan untuk pendakian ke Pangrango kala itu, hingga pegal-pegal terasa baru hilang setelah beberapa hari. Tapi itu semua sangat bermanfaat ketika kami menghadapi pendakian pertama kami di medan sesungguhnya di Taman Nasional Gunung Gede-Pangarango.

Pada hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Sore hari tanggal 16 Agustus sepulang sekolah, kami berkumpul di sekolah melakukan persiapan sebelum bertolak ke Cibodas. Bagi teman-teman kami yang rumahnya cukup jauh, sudah membawa perlengkapan pendakian sekaligus saat mereka berangkat sekolah, agar menghemat waktu.

Pemberangkatan dilakukan per-kelompok kala itu, yang tiap kelompok dipimpin kakak senior (anak kelas II) dengan membawa beberapa anak kelas I yang baru, dengan menumpang bus umum, karena kala itu tidak menyewa truk. Waktu itu saya ingat senior yang jadi ketua regu adalah Agus Tompel, yang menemati kami saat pendakian Gunung Rinjani di kelas tiga. Tujuan pertama kami setelah berangkat dari sekolah adalah terminal Cililitan. Kami berangkat sudah cukup gelap kala itu, kira-kira jam tujuh lewat, dengan diantar para alumni yang tidak ikut pendakian, sampai terminal Cililitan (sekarang sudah jadi PGC/Pusat Grosir Cililitan, dipindah ke terminal Kampung Rambutan).

Dari Cililitan kami naik bis jurusan Bandung yang lewat Puncak, untuk turun di Cibodas. Bis selalu penuh bila besoknya adalah hari libur, dan karena ingin menghemat waktu, kami langsung naik bis yang akan berangkat dan kami pun semua terpaksa harus berdiri. Di tengah jalan, di tol Jagorawi tepatnya, ketika kondektur sedang meminta ongkos kami, dengan membayar ongkos untuk hanya sampai Cibodas, baru kami diberitahu bahwa bis tidak lewat puncak, dengan alasan macet karena esok hari libur, dan bis akan lewat Sukabumi untuk kemudia menuju Cianjur. Terpaksalah kami membayar ongkos hanya untuk sampai Ciawi saja. Kami sampai di Ciawi kira-kira jam 9 malam.

Di Ciawi kami sempatkan makan sebentar seraya ketua regu (Agus Tompel) cari borongan mobil bak terbuka untuk membawa kami ke kaki Gunung Gede Pangrango, yaitu Cibodas. Mobil bak terbuka dipilih agar bisa cepat sampai di Cibodas, guna menghadapi jalur puncak yang macet. Kira-kira jam 10 malam, kami bertolak menuju Cibodas dengan mobil carry bak terbuka. Bisa dibayangkan bagaimana kedingingannya kami di jalur puncak menuju Cibodas di atas mobil bak terbuka pada malam itu.

Akhirnya kami sampai di kaki Gunung Gede Pangrango, yaitu Cibodas menjelang tengah malam, setelagh melewati jalur puncak yang dingin, berkabut dan bau asap knalpot kendaraan dan juga bau kopling. Kami disambut oleh kakak-kakak senior kami yang ingin sedikit balas dendam kepada para juniornya dengan sedikit plonco. Bila ada yang kedapatan jawaban dingin terhadap pertanyaan dingin atau tidak, kami akan disuruh scott jam atau push-up di aspal sebanyak 20 kali dengan tangan dikepal. Sebenarnya ini juga bisa mengurangi suhu tubuh kami yang sedang kedinginan.

Cibodas penuh dengan para pendaki malam itu, seperti biasanya yang selalu dipenuhi para pendaki yang melalukan pendakian karena adanya hari libur nasional, apalagi esok paginya tanggal 17 Agustus, yang biasanya ada banyak akan upacara di Gunung Gede yaitu alun-alun Surya Kencana. Akhirnya sang ketua Exispal kala itu, Gita Sutikna membolehkan kami untuk melanjutkan perjalanan kami dipimpin ketua regu, Agus Tompel. Setelah melewati pos perijinan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Kantor Information Center) yang sangat ketat, kami memasuki jalur setapak hingga esok siangnya di puncak gunung Pangrango.

Setelah berdoa sejenak dengan kepercayaan masing-masing, kami memulai perjalanan kami yang bagi kami anak-anak kelas satu adalah pengalaman yang baru. Baru beberapa menit saja kami melangkah di kedinginan malam di tengah hutan yang lebat Gunung Gede Pangrango, dalam perjalanan kami sambil berbincang-bincang dengan teman-teman kami yang ada di depan dan di belakang, betapa enaknya nih orang-orang yang lagi di rumah tidur nyenyak mendekap bantal. :) Perjalanan kami malam itu sangatlah indah, karena diiringi bulan purnama dan bintang-bintang yang bertaburan di malam yang sangat cerah, walaupun hanya sesekali saja bisa menerangi jalan setapak kami karena tinggi dan lebatnya pohon-pohon yang ada di Taman Nasional Gunung Gede Cibodas.

Tujuan shelter pertama kami sebelum beristirahat, adalah Telaga Biru yang dapat ditempuh kira-kira selama 35 menit. Di Telaga Biru terdapat pos yang dapat digunakan untuk beristirahat. Telaga ini telah dilengkapi dengan dermaga yang dapat digunakan pengunjung untuk menikmati pemandangan maupun memotret telaga (tentunya ketika matahari masih bersinar). Setelah beristirahat sejenak, perjalanan dilanjutkan menuju pos Panyangcangan.

Dari Telaga Biru, pos Panyangcangan dapat ditempuh kira-kira 30 menit. Panyangcangan merupakan persimpangan untuk menuju Air Terjun Cibeureum. Di Panyangcangan terdapat pos yang dapat dipakai beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke arah puncak Gunung Gede atau Pangarango, yang jalannya semakin menanjak dan disertai jurang di salah satu sisinya. Jalan menuju puncak Gunung Gede Pangrango ke arah kiri, sedangkan jalan menuju Air Terjun Cibeureum, lurus saja. Karena foto-foto pendakian perdana saya sudah tidak saya miliki lagi, jadi saya menggunakan foto-foto waktu sekarang, yang beberapa waktu lalu (di bulan Juli 2015), jalan-jalan ke air terjun Cibereum. :)

Pos Panyangcangan

Plang pos Panyangcangan, dan arah menuju air terjun

Perjalanan dari pos Panyangcangan menuju Air Terjun Cibeureum (1675 mdpl) dapat ditempuh kira-kira 10 menit . Di tempat itu terdapat 3 air terjun, yaitu Air Terjun Cibeureum, Air Terjun Cikundul, Air Terjun Cidendeng. Air Terjun Cibeureum setinggi 40 sampai 50 meter, merupakan yang tertinggi di antara ketiga air terjun tersebut.

Air Terjun Cibeureum banyak dikunjungi wisatawan pada hari libur untuk hanya menikmati pemandangan air terjun di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ini. Dengan mengajak teman-teman atau keluarga, para wisatawan yang berkunjung ke Kebun Raya Cibodas, biasanya tidak membuang kesempatan untuk sekaligus menapaki langkah mereka menuju Air Terjun Cibeureum. Selain jaraknya yang tidak terlalu jauh, kira-kira satu jam, tergantung banyak istirahatnya atau tidak, medan yang biasa dilewati para pendaki menuju puncak Gede Pangrango ini pun tidak terlalu sulit meskipun adakalanya melewati medan yang menanjak dan berbatu, namun banyak discountnya (trek lurus nan landai). :)

Para pendaki yang ingin menuju puncak Gunung Gede atau Pangrango, dari pos Panyangcangan harus mengambil jalan ke kiri. Setelah beristirahat 5 atau 10 menit, perjalanan kami lanjutkan. Tujuan berikutnya adalah Rawa Denok I, yang dapat ditempuh kira-kira 40 menit, dan Rawa Denok I ke Rawa Denok II dapat ditempuh kira-kira 35 menit. Dar Rawa Denok II ke Batu Kukus dapat ditempuh kira-kira 1 jam. Di Batu Kukus ini terdapat bekas pos yang sudah rusak.

Perjalanan dilanjutkan menuju Batu Kukus II dengan waktu kira-kira 1 jam. Di Batu Kukus II juga terdapat pos yang telah rusak. Dari Batu Kukus II menuju Pos Pemandangan dapat ditempuh kira-kira 25 menit. Pos Pemandangan merupakan pos terdekat sebelum sampai di Air Panas. Perjalanan menuju Air Panas ini, kami banyak melakukan istirahat dikarena medan yang dilalui banyak menanjak dengan sedikit discount. Bahkan jalur seperti ini akan terus dialami sampai ke puncak Pangrango dan begitu pula ke puncak Gede. Adakalanya kami beristirahat sejenak di tengah jalan karena kelelahan (dengkul dan paru-paru kami benar-benar diuji), dan ketika kami menemui shelter, kami lewati saja karena belum lama berselang sudah istirahat, dan untuk menghemat waktu perjalanan dilanjutkan. Dan tidak disarankan terpisah dari kelompok mengingat berbahayanya mata yang mengantuk dan jurang di salah satu sisinya.

Perjalanan dari Pos Pemandangan menuju kamp Air Panas dapat ditempuh kira-kira 20 menit. Air Panas atau Air Terjun Panas (2150 mdpl) memiliki rute yang melalui air terjun, di mana terdapat pal-pal dengan tali pembatas agar pengunjung jangan sampai tergelincir ke jurang di sebelah kanannya saat melewati Air Panas. Air Panas itu berasal dari sungai yang terletak dekat dengan kawah Gunung Gede. Suhu air ini bisa mencapai kira-kira 50 derajat Celcius. Itu sebabnya tidak disarankan mengenakan sandal gunung dalam pendakian ini karena aliran air panas di jalur yang dilewati ini.

Air Panas. Sumber foto: indonesiamountain.com

Perjalanan dari kamp Air Panas kami lanjutkan menuju Kandang Batu (Lebak Saat) yang dapat ditempuh kira-kira 25 menit. Di tempat ini banyak dijumpai batu-batuan gunung api yang berasal dari letusan dan sumber air yang mengalir di sungai kecil. Di situ juga terdapat pondok peristirahatan.

Perjalanan selanjutnya dari Kandang Batu (2220 mdpl) menuju Pos Rusak dapat ditempuh kira-kira 20 menit, dilanjutkan ke Pos Kandang Badak (2395 mdpl) dengan waktu kira-kira 1 jam. Di Kandang Badak terdapat pondok seukuran rumah yang dapat dipakai untuk menginap sekitar 25 orang bahkan lebih. Di sekitar pondok juga banyak tempat yang dapat dipakai untuk mendirikan tenda. Kandang Badak merupakan tempat favorit para pendaki untuk mendirikan kamp atau menginap karena tempatnya yang strategis. Tempat ini merupakan persimpangan jalur ke Puncak Gede (jalur kiri) dan Puncak Pangrango (jalur kanan). Di sini terdapat sungai kecil yang mengalir dengan air yang jernih. Kami tiba di Kandang Badak kira-kira sudah lewat dari jam 4 pagi. Kami pun beristirahat total disini sambil memasak indomie dan tidur sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.

Setelah cukup beristirahat kami pun melanjutkan perjalanan menuju puncak Pangrango, jalur yang derajat kemiringan medannya semakin menanjak, suatu ujian fisik yang lebih berat lagi, yang jarang sekali discount, dan kalaupun ada jaraknya pendek saja, dan sudah harus siap menanjak lagi. Itu sebabnya membawa permen, gula asam atau gula jawa, sangat bermanfaat untuk melupakan rasa lelah. Kami berangkat matahari sudah mulai memancarkan cahayanya, yaitu kira-kira jam 6 pagi. Perjalanan dari Kandang Badak menuju puncak Pangrango perlu berhati-hati karena banyak jalur yang bercabang, yang bila salah memilih jalur tiba-tiba jalur nya adalah puncak Gede. Pedomannya adalah jika jalur cenderung ke kiri berarti menuju ke Puncak Gede, namun jika jalur cenderung ke kanan berarti menuju ke Puncak Pangrango. Jalur ke Puncak Pangrango ada 2 jenis, yaitu jalur landai (jalur lambat, tidak terjal namun memutar) dan jalur terjal (jalur cepat), yang dapat dipilih menurut selera masing-masing. Jalur terjal merupakan jalan air pada musim hujan. Walaupun terjal, jalur itu disukai oleh para pendaki karena dapat mempersingkat waktu perjalanan.

Setelah kami berjalan beberapa jam dari Kandang Badak, kira-kira jam 8 pagi kami terkesima melihat pemandangan yang ada di belakang kami, yaitu puncak Gede yang begitu indah, yang bisa sedikit membuang rasa letih lelah kami yang sedikit frustasi kenapa gak sampai sampai juga puncak Pangrango nya.

Sumber foto: gedepangrango.org

Setelah beristirahat sejenak menikmati indahnya pemandangan puncak Gede, kami pun melanjutkan perjalanan kami. Untuk memberikan semangat adik-adik kelasnya yang sudah keletihan dan sedikit frustasi, para senior, khususnya anak kelas 3 memberi semangat dengan mengatakan “Ayo, sebentar lagi sampai”, atau “Ayo cepat, di atas ada yang jual mie ayam lho..”, dsb. Kami anak-anak kelas satu yang baru pertama kali naik gunung jadi tambah semangat supaya cepat-cepat sampai puncak. Padahal pas sampai di puncak Pangrango tidak ada yang berjualan. :)

Akhirnya dengan perjuangan yang sangat meletihkan, kira-kira jam 10 pagi kami pun sampai juga di puncak Pangrango. Kami cukup kecewa, karena pemandangan dari puncak Pangrango tidaklah menarik karena tertutup oleh vegetasi lebat sehingga dari situ kita tidak dapat menikmati pemandangan layaknya di puncak-puncak gunung lainnya. Namun demikian bila kita mengambil arah kanan kemudian turun sekitar 10 menit maka kita akan sampai di Alun-alun Mandalawangi yang indah. Tempat tersebut merupakan padang Edelweiss seluas kira-kira 5 Ha. Terdapat juga pondok yang dapat dipakai untuk berteduh. Di sebelah kiri terdapat sungai kecil. Jika musim kemarau ada genangan air. Kami pun semua beristirahat total di sini, entah di pondok atau dengan mendirikan tenda. Sebelum membayar utang tidur biasanya kami akan memasak makanan kesukaan ala gunung, yaitu indomie, kornet dan sosis, juga minuman hangat seperti kopi, susu, STMJ, teh manis, dll. Ada juga yang membawa buah kaleng, menikmati coklat Silverqueen yang sudah beku, Beng-beng dsb. Dikarenakan sudah terlalu siang dan lahan untuk baris-berbaris tidak mencukupi dengan jumlah pendaki yang ikut dalam pendakian ini, maka upacara bendera ditiadakan. Bila pun diadakan, saya biasanya lebih memilih tidur ketimbangan ikut upacara.

Alun-alun Mandalawangi. Sumber foto: gedepangrango.org

Setelah tidur beberapa jam untuk membayar utang tidur kami, kami pun bangun kira-kira hampir jam 1 siang, kemudian masak untuk makan siang kami, kemudian bersiap-siap untuk perjalanan kami turun ke Cibodas. Kira-kira hampir jam 2 siang kami bergerak turun melewati jalan kami sebelumnya. Perjalanan turun memakan waktu yang lebih cepat, karena kami berjalan cepat dan istirahat sebentar-sebentar saja, bahkan di Kadang Badak kami hanya beristirahat 5 atau 10 menit, langsung dilanjutkan menuju Panyangcangan, dekat Air Terjun Cibeureum.

Kami sampai di Pos Panyangcangan sudah hampir jam 6 sore. Kami langsung lanjutkan tanpa beristirahat untuk mengejar waktu. Di benak adalah ingin cepat-cepat sampai di bawah, di Cibodas, untuk istirahat, makan dan pulang. Apalagi jalur Air Terjun Cibeureum – Cibodas bila sekitar jam 6 sore, adalah jalur yang agak sedikit horor buat saya, khususnya sekitar telaga biru dan setelahnya. Akhirnya kami tiba di pos Cibodas kira-kira jam 7 malam dengan perasaan senang karena kami telah berhasil dalam pendakian pertama kami yang sangat melelahkan dan penuh cerita suka dan duka untuk menjadi modal pendakian-pendakian berikutnya.

Setelah melewati pos perijinan Cibodas dan pemeriksaan tas kami apakah membawa Edelweis yang dilindungi, kami pun lolos dengan tenang karena kami tidak membawa bunga yang dilarang dipetik di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango itu. Berbeda ceritanya bila kami berada di gunung yang tidak mempermasalah memetik bunga Edelweis, seperti di gunung Semeru dan Rinjani. Setelah melewati pos perijinan Cibodas, kami berkumpul dengan teman-teman kami yang telah terlebih dahulu sampai di bawah. Kami beristirahat di warung, kangen makan makanan yang tidak kami temui selama kami jauh dari peradaban, yaitu di atas gunung.

Perjalanan kami pulang dari Cibodas ke Jakarta, yaitu dengan menaiki angkot ke jalan raya puncak, menunggu bis-bis yang datang Bandung, Garut atau Tasik yang menuju Cililitan. Setibanya di Cililitan kami langsung menaiki bis ke jurusan masing-masing tempat tinggal kami untuk langsung istirahat, tidur, supaya harinya badan kami cukup fit untuk bersekolah dan menceritakan kepada teman-teman kami yang lain betapa menyenangkannya pendakian pertama kami ke Gunung Pangrango.


4 Responses to “Gunung Gede Pangrango”

  1. usep says:

    bagus bagus photonya…aku yang terlahir dikakinya pun belum pernah menginjakan kaki disana….izin copy photonya…..buat obat…hehehe

    • bosimanurung says:

      Silahkan aja.. Tapi ngomong2 utk obat apa ya? Hehe..
      Apakah sudah tidak tinggal di kaki nya lagi skrg? Tapi pastilah pernah menginjakkan kakinya di air terjun cibeureum..

  2. wati says:

    Cerita yg penuh dengan harapan dan pembelajaran gak bs lupa krn momen di Tgl 17 Agustus……….. yg pasti pulang dari sana badan rasanya rontok/sakit semua nyeri, linu jadi satu ..tapi seneng…… krn hal ini rasanya kok gak mungkin terulang lg ya…..

  3. bosimanurung says:

    hahaha.. bener.. pendakian yg sangat seru dan gak akan terlupakan..

Leave a Reply